MAKALAH
ILMU
SOSIAL BUDAYA DASAR
(Kebudayaan
Suku Tengger)
Disusun Oleh:
Muhammad Abdul Mushollin
NPM : 131100049
Program Studi Teknik Informatika
Fakultas Teknologi Informasi
Universitas Respati Indonesia
Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Masyarakat suku Tengger merupakan salah satu suku yang
mendiami lereng gunung Bromo-Semeru. Gunung bromo (2.392m) adalah gunung yang
dianggap suci bagi masyarakat Tengger karena merupakan lambang tempat Dewa
Brahma, tempat wisata terkenal di jawa timur yang dapat ditempuh lewat empat
kabupaten, yaitu: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Puncak gunung
Bromo yang luasnya 10 km merupakan perpaduan antara lembah dan ngarai dengan
panorama yang menakjubkan bisa menikmati hamparan lautan pasir seluas 50 km.
Kawah gunung Bromo berada dibagian utara berketinggian 2.392 m diatas permukaan
laut yang masih aktif dan setiap saat mengeluarkan kepulan asap ke udara. Suhu
rata-rata digunung Bromo antara 3-170C. Bagian selatan merupakan dataran tinggi
yang dipisahkan oleh lembah dan ngarai, danau-danau kecil yang membentang di
kaki gunung semeru yang dirimbuni hutan dan pepohonan sungguh merupakan pesona
alam yang mengagumkan. Disamping pemandangan alam yang indah, gunung bromo juga
memiliki daya tarik yang luar biasa karena tradisi masyarakat Tengger yang
tetap berpegang teguh pada adat-istiadat dan budaya yang menjadi pedomannya.
Masyarakat Tengger memiliki rasa persaudaraan serta solidaritas yang sangat
tinggi. Menurur narasumber di masyarakat tengger kriminalitas sangatlah kecil
semua itu disebabkan oleh rasa percaya pada adanya tradisi, kualat, serta
akibat yang akan didapat dari Sang Hyang Widhi jika mereka melakukan suatu
kesalahan. Masyarakat Suku Tengger berjumlah sekitar 40 ribu (1985) tinggal
dilereng gunung semeru dan disekitar kaldera tengger.
B. RUMUSAN
MASALAH
1. Bagaimanakah kebudayaan masyarakat suku tengger?
2. Bagaimanakah adat-istiadat masyarakat suku tengger?
3. Bagaimanakah pewarisan budaya masyarakat suku tengger kepada
generasi muda?
C. TUJUAN
MASALAH
1. Agar dapat mengetahui kebudayaan masyarakat suku tengger.
2. Agar dapat mengetahui adat- istiadat masyarakat suku tengger.
3. Agar dapat mengetahui pewarisan budaya masyarakat suku
tengger kepada generasi muda.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A.
ADAT ISTIADAT
1. Konsep tentang Manusia Menurut
Falsafah Tengger
Sifat umum di dalam kehidupan
sehari-hari orang Tengger mempunyai kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai.
Mereka adalah petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-puncak
yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai sangat sederhana, terdiri
dari cangkul,sabit dan semacamnya. Hasil pertaniannya itu terutama adalah
jagung, kopi, kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka
bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus membuat gubuh-gubuk
sederhana di ladangnya untuk berteduh sementara waktu siang hari. Mereka
bekerja sangat rajin dan pagi hingga petang hari di ladangnya. Pada umumnya
masyarakat Tengger hidup sangat sederhana dan hemat. Kelebihan penjualan hasil
ladang ditabung untuk perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah
tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat dengan adat- istiadat
yang telah diwariskan oleh nenek moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan
penting dalam melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala
pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau kegiatan-kegiatan
lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya untuk mengatasi kesulitan ataupun
berbagai masalah kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger
penuh dengan kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala masalah
dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang yang berpengaruh pada
masyarakat tersebut dengan sistem musyawarah.
Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan oleh
Petinggi (Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh. Apabila cara ini tidak juga
menolong, maka si pelaku pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara)
oleh seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala peraturan
pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak pajak, kerja bakti dan
sebagainya.
2. Bahasa Suku Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa
yang masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan bahasa yaitu
ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya, dan krama untuk komunikasi
terhadap orang yang lebih tua atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat
Tengger tidak terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka berkedudukan
sama. Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang ,
Aku ( wanita ) = Isun , Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih
tua) = Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak= Kang , Mbak= Yuk.
Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti terdapat
pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di dunia ini dapat dipelajari
melalui cara masyarakat Tengger memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka
kembangkan. Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti tersebut dibawah ini:
- h.n.c.r.k
: hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
- d,t,s,w,l
: dumadi tetesing sarira wadi laksana,
- p,
dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
- m,
g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai
berikut: Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan kehendak pada
manusia, (manusia) dijadikan melalui badan gaib untuk melaksanakan lima
perintah di dunia dengan kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh
(berkembang) penuh kebebasan (ngakasa menuju alam bebas angkasa).
Pada
hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang dilahirkan dari tidak ada menjadi
ada atau dari alam gaib, untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima
perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di dunia ini tumbuh
keterbukaan dan perkembangan menuju kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang dikaitkan
dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada utusan, yang keduanya saling
bertengkar (berebut kebenaran). Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang
akhirnya keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal ini
mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-sakit, adalah ada pada
manusia dan tak dapat dihindari. Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat
menyeimbangkan kedua hal itu.
3. Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu hanya
merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan halus yang bersifat abadi.
Jika orang meninggal, badannya pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya
terbebas dari mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama itu
mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti. Cahaya, api dan air dari
arah timur akan melenyapkan semua kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada
di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari
beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang disebut juga kawah
candradimuka, yang akan menyucikan sukma sehingga menjadi bersih dan suci serta
masuk surga. Hal ini terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui
upacara Entas-entas.
4. Hubungan Antar-manusia Menurut
Falsafah Tengger
Sesuai dengan ajaran yang hidup di
masyarakat Tengger seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia, yaitu:
- setya budaya artinya, taat, tekun,
mandiri;
- setya wacana
artinya setia pada ucapan;
- setya semya artinya setia pada
janji;
- setya laksana artinya patuh, tuhu,
taat;
- setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan
berpengaruh besar terhadap perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada
sifat taat, tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa tanggung
jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya mereka bekerja di ladangnya
dari jam 6 pagi sampai jam 6 sore setiap hari secara tekun. Sikap
gotong-royongnya terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari,
adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan sepanjang 15 km dari
Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976). Demikian pula tanggung jawab mereka
terhadap lingkungan sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta
menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila terkena pembangunan
jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk menerima
orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap pada sikap yang sesuai
dengan identitasnya sebagai orang Tengger.
Hubungan antara pria dan wanita
tercermin pada sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu
ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan, memberikan nafkah,
serta menciptakan suasana tenteram dan damai.
5. Sikap dan Pandangan Hidup Pandangan
tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada
harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra (memiliki pakaian,
sandang), wisma (memiliki rumah, tempat tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan
teknologi, berpengetahuan dan terampil). Mereka mengembangkan pandangan hidup
yang disebut pengetahuan tentang watak yaitu:
Ø prasaja
berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
Ø prayoga
berarti senantiasa bersikap bijaksana;
Ø pranata
berarti senantiasa patuh pada raja, berarti pimpinan atau pemerintah;
Ø prasetya
berarti setya;
Ø prayitna
berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat
Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai dengan kondisi dan
perkembangan yang ada. Antara lain mengembangkan sikap seperti kelima pandangan
hidup tersebut, di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai perwujudannya.
Mereka
mengembangkan sikap rasa malu dalam arti positif, yaitu rasa malu apabila tidak
ikut serta dalam kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga
pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang bunuh diri hanya
karena tidak ikut serta dalam kegiatan gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa mereka
dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun kedatangan orang beragama
lain. Dalam keagamaan mereka tetap setia kepada agama yang telah dimiliki namun
toleransi tetap tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan pada
cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu bertujuan satu, yaitu mencapai
Tuhan, meskipun jalannya beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam
hal perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan bagi para
putra-putrinya untuk memilih calon istri atau suaminya. Pada dasarnya
perkawinan bersifat bebas. Mereka tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada
yang berumah tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama sekalipun.
Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya para generasi muda masih tetap
melakukannya sesuai dengan adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap
hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata tentrem (tidak banyak
risiko), aja jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang lain), kerja keras, dan
tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap terhadap kerja
adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu meneruskan sikap nenek moyangnya
sebagai penghormatan kepada leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup untuk
mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan tetapi untuk menolong
sesamanya. Dengan demikian, dalam masyarakat Tengger tidak pernah terjadi
kelaparan. Untuk mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan pada
hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari sikap nyadhang (menengadahkan
telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu
mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin mempunyai anak yang
memalukan, dengan harapan agar anak mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero,
yaitu memuliakan orangtuanya. Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik,
terbukti mereka dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta
perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka mengharapkan masa depan yang
lebih baik dan berkeyakinan akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan
masyarakatnya.
6. Siklus
Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus
kehidupan menurut
pandangan masyarakat Tengger, yakni
:
1.
umur
0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang bramacari yaitu masa yang
tepat untuk pendidikan;
2.
usia
21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing griasta, masa yang tepat
untuk membangun rumah dan mandiri;
3.
60
tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri sebagai manusia usia
lanjut untuk lebih mementingkan masa akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau masih
mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga, yang dimaksudkan adalah
hendaklah manusia itu pada waktu mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan
dirinya untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
7. Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian yang
cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian boleh dikatakan tidak
pernah terjadi. Perkawinan di bawah umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan
(pacangan), lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya didahului dengan
pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa senang kedua belah pihak. Apabila
kedua belah pihak telah sepakat, maka orangtua pihak wanita (sebagai calon)
berkunjung ke orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau notok.
Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah menyetujui, diteruskan dengan
kunjungan dari pihak orangtua pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan
hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak. Sesudah itu barulah
upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan nasihat
kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari perkawinan itu dilaksanakan. Dukun
akan memberikan saran (menetapkan) hari yang baik dan tepat, papan tempat
pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk upacara perkawinan
ditentukan, maka diawali selamatan kecil (dengan sajian bubur merah dan bubur
putih). Sebagai kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin diarak
(upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis dan empat jejaka dengan
diiringi gamelan. Pada upacara perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah
bokor tembaga berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain, sedangkan
pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah keranjang berisi buah-buahan,
beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak diwakili
oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan pembicaraan mengenai kewajiban dalam
perkawinan dengan disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan
dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek moyang) supaya roh
nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan. Biasanya setelah melakukan perkawinan
kemanten pria harus tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
8. Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak waris
tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada keluarga yang terpaksa
menjual hak tanah, diusahakan untuk dibeli oleh keluarga yang terdekat.
Pewarisan kepada anak-turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua,
bukan atas dasar aturan ketat yang dibakukan.
9. Tata Rumah
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang sedapat
mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau kalau terpaksa dipilih tanah
yang dapat dibuat teras, dan jauh dan gangguan angin. Rumah-rumah letaknya
berdekatan atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan berbagaf
jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit atau gak lebar antara satu desa
dengan desa lain. Desa induk yang disebut Jerajan biasa-nya terletak di tengah
dengan jaringan jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain. Pembangunan
sebuah rumah selalu diawali dengan selamatan, demikiah pula apabila bangunan
telah selesai diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang
dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada tiang-tiang, berupa
makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan lain-lain. Bangunan rumah orang
Tengger biasanya luas sebab pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga
bersama-sama, Ada kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan
tinggal bersama mertuanya. Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan
atapnya terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit diperoleh,
dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan itu dengan menggunakan atap dan
seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada
umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan yang ditaruh di depan
rumah. Di dalam ruangan rumah itu disediakan pula tungku perapian (pra pen)
yang terbuat dan batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4 dari
panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat tempat duduk pendek
terbuat dari kayu (dingklik bhs jawa) yang meliputi kurang lebih separuh dan
seluruh ruangan. Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di
tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni rumah,
perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung, atau bahan makan lainnya
yang memerlukan pengawetan dan ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu
terdapat pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah mereka pada
umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-pohonan. Di halaman itu pula
terdapat sigiran, tempat untuk menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain
itu, sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga berfungsi
sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen mendatang.
B. KEBUDAYAAN
MASYARAKAT TENGGER
1. Agama
Masyarakat suku tengger
Agama masyarakat suku Tengger adalah
agama Hindu yang masih mewarisi tradisi Hindu sejak zaman kejayaan Majapahit. Namun saat ini juga masyarakat
tersebut yang menganut agama lain yaitu: Islam, Kristen Protestan, Khatolik
serta Budha. Walaupun orang Tengger beragama Hindu, mereka tidak dapat dapat
dianggap sebagai kelompok etnis berbeda dari orang jawa yang lain. Mereka
adalah orang Hindu tetapi tidak melakukan pembakaran mayat seperti orang Hindu
di Bali. Namun demikian, selama sejarah manusia Tengger daerahnya dikurangi
oleh orang pendatang yang beragama Islam dari daerah lain di Jawa. Sampai
tengah abad 19 kebanyakan desa-desa Tengger lebih rendah dari 1400m dikuasai
oleh pendatang yang beragama Islam. Upacara yang terkenal adalah upacara kasada
terkenal hingga manca Negara dan selalu ramai dihadiri banyak turis luar negeri
maupun lokal.
2.
Upacara Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
a. Pujan Karo (Bulan Karo)
Upacara Karo
Hari raya
terbesar masyarakat Tengger adalah upacara karo atau hari raya karo diawali
tanggal 15 kalender saka Tengger. Masyarakat menyambutnya dengan penuh suka
cita, mereka mengenakan pakaian baru, kadang pula membeli pakain hingga 2-5 pasang,
perabotan pun juga baru. Makanan dan minuman pun juga melimpah pada adat ini
masyarakat suku tengger juga melakukan anjang sana (silaturrahmi) kepada semua
sanak saudara, tetangga semua masyarakat Tengger. Uniknya tiap kali berkunjung
harus menikamati hidangan yang diberikan oleh tuan rumah. Tujuan
penyelenggaraan upacara karo ini adalah: mengadakan pemujaan terhadap Sang
Hyang Widhi Wasa dan menghormati leluhurnya, memperingati asal-usul manusia,
untuk kembali pada kesucian, dan untuk memusnahkan angkara murka.
b. Pujan Kapat (Bulan Keempat)
Upacara
kapat jatuh pada bulan keempat (papat) menurut tahun saka disebut pujan kapat,
bertujuan untuk memohon berkah keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan
terhadap arah mata angin yang dilakukan bersama- sama disetiap desa (rumah
kepala desa) yang dihadiri para pini sepuh desa, dukun, dan masyarakat desa.
c. Pujan Kapitu (Bulan Tujuh)
Pujan
kapitu (bulan tujuh), semua pini sepuh desa dan keharusan pandita dukun
melakukan tapa brata dalam arti diawali dengan pati geni (nyepi) satu hari satu
malam, tidak makan dan tidak tidur. Selanjutnya diisi dengan puasa mutih (tidak
boleh makan makanan yang enak), biasanya hanya makan nasi jagung dan daun –
daunan selama satu bulan penuh. Setelah selesai ditutup satu hari dengan pati
geni. Pada bulan kapitu ini masyarakat suku tengger tidak diperbolehkan
mempunyai hajat.
d. Pujan Kawolu
Upacara
ini jatuh pada bulan kedelapan (wolu) tanggal 1 tahun saka. Pujan kawolu
sebagai penutipan megeng. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa, dengan
tujuan untuk keselamatan bumi, air, api, angin, matahari, bulan dan bintang.
Pujan kawolu dilakukan bersama dirumah kepala desa.
e. Pujan Kasangan
Upacara
ini jatuh pada bulan kesembilan (sanga) tanggal 24 setelah purnama tahun saka.
Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan kenyongan dan membawa obpr.
Upacara diawali oleh para wanita yang mengantarkan sesaji ke kepal desa, untuk
dimantrai oleh pendeta, selanjutnya pendeta dan para sesepuh desa membentuk
barisan, berjalan mengelilingi desa. Tujuan mengadakan upacara ini adalah
memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk keselamatan masyarakat tengger.
Masyarakat bersama anak – anak keliling desa membawa alat kesenian dan obor.
f. Kasada (Bulan Dua Belas)
Upacara
kasada dilaksanakan tnggal 14 dan 15 dilakukan di ponten pure luhur, semua
masyarakat tengger berkumpul menjelang pagi. Tidak hanya masyarakat Tengger
yang beragama Hindu saja, tetapi semua masyarakat Tengger yang beragama
lainnya. Setelah upacara, melabuhkan sesaji berupa hasil bumi yang sudah
dimantrai dukun kekawah gunung Bromo. Tidak hanya upacara saja tetapi juaga
bermusyawarah dan bersilaturrahmi dengan dukun dan masyarakat Tengger. Upacara
dilaksanakan pada saat purnama bulan kasada (ke dua belas) tahun saka, upacara
ini juga disebut dengan hari Raya Kurba. Biasanya lima hari sebelum upacara
Yadnya kasada, diadakan berbagai tontonan seperti: tari-tarian, balapan kuda di
lautan pasir, jalan santai, pameran. Sekitar pukul 05.00 pendeta dari
masing-masing desa, serta masyarakat tengger mendaki gunung Bromo untuk
melempar kurban (sesaji) ke kawah gunung bromo. Setelah pendeta melempar
ongkeknya (tempat sesaji) baru diikuti oleh masyarakat lainnya.
g. Upacara Unan-unan
Upacara ini di adakan hanya tiap lima
tahun sekali. Unan-unan adalah tahun panjang (seperti tahun kabisat) melakukan
upacara ngurawat jagat, mensucikan hal-hal yang tidak baik dengan mengorbankan
kerbau. Unan yaitu menagrungi bulan. Tujuan unan-unan yaitu untuk mengadaksn
penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam acara ini selalu diadakan acara
penyembelihan binatang ternak yaitu kerbau. Kepala kerbau dan kulitnya
diletakkan diatas ancak besar yang terbuat dari bambu, diarak kesanggar
pamujan.
h. Upacara yang dilakukan secara individu:
1) Upacara tujuh bulanan (sayut)
dipimpin oleh pandita dukun.
2) Upacara indungi anak, anak yang
menginjak masa remaja.
3) Upacara Tugel Gombak (laki-laki) dan
Tugel Kuncung (perempuan), memotong sedikit rambut sekitar pusar rambut
anak-anak yang menginjak usia 5 tahun.
4) Upacara Ngruwat, jika ada saudara 2
laki-laki atau salah satu anak laki-laki dan perempuan atau anak tunggal.
5) Upacara Wala gara (Temu Manten).
6) Upacara Mendirikan Rumah.
7) Upacara Kematian, minimal 4 hari
setelah meningggal dilakukan upacara untas-untas (roh orang meningggal
diharapkan kembali pada pemiliknya).
i. Upacara Entas – Entas
Yakni upacara kematian yang terakhir
kali dan perkawinan. “Waktu sekarang ini merupakan hari-hari baik bagi
masyarakat Tengger untuk melaksanakan entas-entas dan perkawinan. Upacara
entas-entas oleh masyarakat Tengger seperti halnya upacara pembakaran mayat
(Ngaben) di Bali. Bedanya, di masyarakat Tengger yang dibakar adalah boneka
dari yang meninggal dunia.
3. Tempat
Keagamaan Masyarakat Suku Tengger
Pemeluk agama Hindu suku Tengger tidak sama dengan pemeluk
agama Hindu pada umumnya, mereka memiliki candi-candi tempat peribadatan, namun
bila melakukan peribadatan bertempat di Punden, danyang dan Poten. Poten
merupakan sebidang lahan di lautan pasir sebagai tempat berlangsungnya upacara
kasada. Sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Tengger yang beragama Hindu,
Poten terdiri dari beberapa bangunan yang ditata dalan suatu susunan komposisi
dipekarangan yang dibagi tiga mandala/zone yaitu:
a.
Mandala utama
Disebut
juga jeroan yaitu tempat pelaksanaan pemujaan persembahyangan yang terdiri
dari:
·
Padma
berfungsi sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa. Bentuknya serupa candi
yang dikembangkan lengkap dengan pepalihan.
·
Bedawang
Nala melukisakan kura-kura raksasa mendukung padmasana, dibelit oleh seekor
atau dua ekor naga, garuda dan angsa posisi terbang di belakang badan padma
yang masing-masing menurut mitologi melukiskan keagungan bentuk dan fungsi
padmasana.
·
Bangunan
sekepat (tiang empat) fungsinya untuk penyajian sarana upacara atau aktifitas
serangkaian upacara. Bale pawedan serta tempat dukun sewaktu melakukan
pemujaan.
·
Kori
Agung Candi Bentar, bentuknya mirip dengan tugu kepalanya memakai gelung
mahkota segi empat yang bertingkat- tingkat mengecil ke atas.
b. Mandala madya
Disebut
juga jaba tengah, tempat persiapan dan pengiring upacara terdiri dari:
Kori Agung Candi Bentar, bentuknya
serupa dengan tugu, kepalanya memakai gelung empat bertingkat-tingkat mengecil ke atas dengan
bangunan bujur sangkar.
·
Bale
kentongan letaknya disudut depan pekarangan pura, bentuknya ssusunan tepas,
batur, sari dan atap penutup ruangan kentongan. Fungsinya untuk tempat
kentongan yang dibunyikan di awal, akhir dan saat tertentu dari rangkaian upacara.
·
Bale
bengong, disebut juga pawerangan suci letaknya diantara jaba tengah, mandala
nista. Bentuk bangunannya empat persegi. Fungsinya untuk mempersiapkan
keperluan sajian upacara yang perlu dipersiapkan di pura yang umumnya jauh dari
desa tempat pemukiman.
c. Mandala Nista
Disebut
juga jaba sisi yaitu tempat peralihan dari luar kedalam pura yang terdiri dari
bangunan candi bentar penunjang lainnya. Pekarangan pura dibatasi oleh tembok
penyengker batas pekarangan pintu masuk di depan dan pitu masuk ke jeroan utama
memaki kori Agung. Tembok penyengker candi bentar dan kori agung ada berbagai
bentuk variasi dan kreasinya sesuai dengan keindahan arsitekturnya. Bangunan
pura pada umumnya menghadap ke barat, memasuki pura menghadap ke arah timur
demikian pula pemujaan dan persembahyangan menghdap kea rah timur kea rah
yrbitnya matahari. Komposisi masa – masa bangunan pura berjajar antara selatan
menghadap ke barat dan sebagian di sisi utara menghadap selatan (menurut
bpk.Soedja’i).
d.
Posesi Upacara Kasada
Upacara
ini dilaksanakan setahun sekali oleh masyarakat hindu tengger yang mendiami 41
desa pada 4 kecamatan di Probolinggo, Lumajang, Malang, dan Pasuruan. Upacara
kasada diadakan mulai tengah malam hingga dini hari, dan persiapannya
dilaksanakan sejak 24.00 WIB bergerak mulai di depan rumah dukun (pendeta)
Mujono, dan sampai ke pantai p[asir di pura Agung Puten kira-kira pukul 04.00
WIB. Menjelang menjelang matahari terbit yang disebut dengan Surya Serwana.
Pada pukul 05.00 WIB upacara kasada dilaksanakan dengan terlebih dahulu
dilakukan ritual di pura puten yang dilnjutkan turun menuju kawah gunung Bromo
yang berjarak 2 km untuk melakukan ritual sesaji yang terdiri dari dua unsur
penting, yaitu kepala bungkah dan kepala gantung. Kepal bungkah itu artinya
buah-buahan yang berasal dari tanah seperti kentang dan ketela, serta kepala
gantung yaitu buah-buahan yang bergantung. Ritual sesaji itu merupakan
sesembahan sebagai ciri utama kehidupan dari masyarakat tengger, kecuali ada
secara spesifik yang memiliki permohonan khusus, biasanya korbannya yaitu ayam
atau kambing ini, yang khusus mau jadi pejabat. Pada pengambilan sesajen para
pengambil sesajen memakai gala dari kain goni, banyak tamu yang melemparkan
sesajen ke kawah gunung bromo. Namun adapula yang mengambil uang ke dalam kawah
tersebut. Pada upacara kasada petani juga melemparkan hasil pertaniaanya ke
dalam kawah. Orang yang mengambil lemparan tidak boleh hanya mengambil satu
kali, tetapi harus tujuh kali berturut-turut. Apabila melanggar maka orang
tersebut mendapatkan musibah, seperti sakit. Cara penyembuhannya adalah dengan
cara meminta maaf dan juga membuat acara ruwatan (bpk. Sugik).
e. Dukun Masyarakat Suku Tengger
Dukun
tengger berbeda dengan dukun Jawa yang lain, mereka mempunyai tujuan menjaga
kebudayaan dan melakukan upacara-upacara tradisional. Dalam setiap desa Tengger
ada dukun diatas mereka ada satu dukun yang mengurus semua acara keagamaan,
bernama “Lurah Dukun”. Walaupun agama masyarakat Tengger masih kuat, saat ini
dalam desa-desa Tengger juga ada penduduk beragama Islam dan Kristen. Lurah
Dukun dirumahnya melakukan semeninga. Semeninga itu adalah prsiapan untuk
upacara-upacara bertujuan untuk beritahu para dewa-dewa sesaji akan dimulai.
Kemudian satu hari setelah itu baru sebelum para dukun turun sampai LAut Pasir
mereka melakukan semeninga lagi. Kemudian para dukun berjalan sampai potenyang
terletak di kaki Gunung Bromo. Sementara massa berkumpul di Laut Pasir sekitar
Poten itu siap untuk memulai upacaranya. Pada tengah malam upacara Kasada mulai
dengan Lurah Dukun menceritakan tentang Legenda Kasada dan berdoa kepada dewa
Gunung Bromo dan dewa Kusuma. Pula kalau ada dukun baru dia akan diresmikan
oleh dukun lainnya pada saat itu. Pemilihan dukun baru dengan cara demokrasi,
dukun yang baru tersebut merupakan dukun yang dipilih yang sudah banyak hafal
mantra keagamaan.
f. Legenda Kasada
Gunung
Bromo tidak dapat dipisahkan dari sistem kepercayaan mastarkat suku Tengger.
Legenda kasada adalah merupakan cikal bakal rakyat Tengger dan menggambarkan
hubungan manusia dan makhluk halus gunung Bromo. Dalam legenda kasada makhluk
halus gunung Bromo tidak memilki namA sendiri tetapi di panggil oleh nama Sang
Yang Widhi. Cikal bakal Tengger dalam ceritanya digambarkan sebagai asal –
usulnya dari kerajaan majapahit dari sebelum keturunan kerajaan Hindu-Budha di
jawa. Tujuan legenda kasada adalah bahwa suatu nenek monyang Tengger bernama
“Dewa Kusuma” anak dari “Joko Seger” dan “Rara Anteng” mengorbankan jiwanya untuk
keluarganya dan orang Tengger. Akibatnya adalah perjanjian di antara roh
leluhur “Dewa Kusuma”dan orang Tengger untuk memberi sesajian setiap tanggal 14
bulan kasada dalam ketanggalan Tengger. Upacara sesajian itu bernama “Upacara
Kasada” dan diikuti oleh orang Tengger satu tahun sekali sampai sekarang. Dalam
permulaan legenda kasada ada tiga peran pokok. Yang pertama bernama ‘Kyai Dadap
Putih’ suatu dukun dari kerajaan majapahit. Dia datang ke daerah Tengger
bertujuan bersemedi. Peran yang kedua adalah orang perempuan muda bernam “Rara
Anteng” pula datang dari kerajaan majpahit.dia datang ke daerah Tengger untuk
mencari ayahnya yang menjadi hilang dan sambil semedi di gunungnya. Peran
ketiga adalah “‘Joko Seger” orang dari desa di daerah gunungnya. Dia pula
mencari orang, pamannya yang hilang sambil semedi di gunungnya. “Kyai Dadap
Putih” bertemu dengan “Rara Anteng” dan mengangkat dia sebagai anaknya. Saat
“Rara Anteng” bersemedi dia bertemu dengan “Joko Seger” .(diceritakan oleh
Bpk.Soedja’i)
4.
Pusaka yang di miliki oleh Suku
Tengger
·
Jimat
Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat Klonthong / Jodang wasiat
jumlahnya ada dua, yang pertama disimpan oleh masyarakat Suku Tengger Brang
Wetan tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo.bentuknya
berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang
kedua disimpan di wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari
Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di wilayah brang wetan
yaitu berbentuk bumbung terbuat dari kayu.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri.
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng ) berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi dan mantra Mandala Giri.
·
Lontar (keropak)
Di Tengger masih terdapat lontar
(keropak) sebanyak 21 ikat, berisi tulisan Jawa lama, yang orang Tengger
sendiri tidak bisa membacanya.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung mata tiga.
5. Peralatan Upacara
Baju Adat
Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa jahitan,Udeng dan kain Selempang
berwarna kuning. Hal ini sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek
moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau praci (Sansekerta)
yang berarti zodiak. Prasen ini berupa mangkuk bergambar binatang dan zodiak.
Beberapa prasen yang dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251,
1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun Saka 1275. Tanda
tahun ini menunjukkan masa berkuasanya pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di
Majapahit. Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna kuning yang
dipakai oleh Dukun Tengger.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
Genta, keropak dan prapen, sebagai pelengkap upacara.
C. LAIN LAIN
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal nama Marga ( keluarga
) karena di dalam Suku Tengger tidak mengenal Kasta, namun biasanya cara
memanggil nama orang yang sudah berkeluarga dan mempunyai keturunan ,mereka
memanggil nama yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Jadi dari paparan sebelumnya dapat saya simpulkan bahwa
Pewaris budaya Etnografi masyarakat suku Tengger di Gunung Bromo adalah proses pewarisan
watak khas atau etos, akal serta pikiran suku Tengger yang mendiami suatu
daerah terhadap generasi penerusnya yang sudah terkait dengan hal yang sering
kali dilakukan sehingga menjadi suatu kebiasaan atau tradisi yang tidak
terpisahkan masyarakat suku tengger yang mendiami daerah di Gunung Bromo
disekitar empat kabupaten di Jawa Timur, yaitu: Probolinggo, Malang, Lumajang,
dan Pasuruan.
B. SARAN
Berdasarkan uraian yang telah saya sampaikan saya berharap
agar pembaca lebih banyak memahami Pewarisan Budaya Etnografi Masyarakat
Tengger di Gunung Bromo. Saya menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan maka dari itu, saya mengharapkan kritik maupun saran dari pembaca.
Dan saya meminta maaf apabila dari uraian ini banyak kekeliruan baik dari segi
tulisan maupun ceritanya..
DAFTAR PUSTAKA
3. http://d16do.blogdetik.com/about-suku-tengger/
4. http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/10/nyadran-penutupan-upacara-karo-suku-tengger/.
0 komentar:
Posting Komentar